Monday, September 11, 2006

Arus Balik Gerakan Reformasi

ARUS BALIK; PENEGAKAN HAM PASKA GERAKAN REFORMASI 1998
(Refleksi akhir tahun 2004)
Oleh: Mugiyanto

Pada mulanya adalah beberapa gelintir mahasiswa yang dari kampus ke kampus berdiskusi dan berdemonstrasi menuntut agar Paket Lima Undang-Undang Politik dan Dwi Fungsi ABRI dicabut. Dua hal itulah yang mereka yakini menjadi tulang punggung (back bone) pemerintah Orde Baru untuk mempertahankan kekuasaan (Muridan S. Widjoyo; 2001). Paket Lima Undang-Undang Politik 1985 mengatur Pemilihan Umum, Susunan dan Kedudukan DPR, DPRD I dan II, Partai Politik dan Golkar, Organisasi Massa dan Referendum. Kesemuanya diatur sedemikian rupa sehingga kekuasaan Orde Baru tetapt bisa dipertahankan.

Paket tersebut diperkuat dengan doktrin dwi-fungsi ABRI, yang memungkinkan militer melibatkan diri dalam kehidupan sosial politik, selain tugas utamanya, pertahanan dan keamanan. Dari kegiatan yang bersifat lokal dan kecil inilah benih-benih kesadaran akan kebebasan dan anti kekerasan tumbuh berkembang. Pada pertengahan 1997, ketika Indonesia dihantam krisis ekonomi yang kian memburuk, benih-benih kesadaran tersebut gayung bersambut dengan kemarahan dan frustasi masyarakat hingga terejawantahkan dalam bentuk aksi-aksi masyarakat.

Pada tanggal 4 Mei 1998 pemerintah mencabut subsisi BBM. Hal ini menyebabkan keresahan dan ketidakpastian hidup di kalangan masyarakat. Mahasiswa didukung kelompok-kelompok pro reformasi semakin gencar menggelar aksi-aksi demonstrasinya, hampir setiap hari di seluruh wilayah tanah air. Keresahan, ketidakpastian dan demonstrasi mahasiswa telah menciptakan instabilitas sosial dan politik yang kemudian memuncak saat terjadi penembakan mahasiswa di Universitas Trisakti (Fadli Zon; 2004).Sejak saat itulah gerakan mahasiswa semakin massif dengan tuntutannya yang makin mengkristal, penggantian dan pengadilan Presiden Suharto. Kemenangan diraih tanggal 21 Mei 1998 ketika Presiden Suharto menyatakan mengundurkan diri.

Proses tumbangnya Presiden Suharto meninggalkan serangkaian peristiwa yang dalam dalam kategori hak asasi manusia termasuk pelanggaran berat, seperti Kasus 27 Juli 1996, Penculikan 1997/1998, Trisakti, Tragedi Mei 1998, dan Semanggi I dan II, serta yang kadang terlupakan, peristiwa pembumihangusan di Timor Leste 1999. Kalau dirunut lagi ke belakang, Orde Baru juga bertanggung jawab atas peristiwa-peristiwa Pembantaian 1965/1966, Penembakan Misterius (Petrus), Tanjung Priok 1984, Lampung 1989, Operasi Militer di Aceh dan Papua dan sebagainya.

Rejim-rejim sipil paska Suharto, mulai dari Habibie, Gus Dur dan Megawati, terlepas adanya batasan rentang waktu kekuasaan, berjanji akan menegakkan hukum dan melindungi hak asasi manusia. Karena itulah, peristiwa-peristiwa pelanggaran berat HAM yang mendapatkan perhatian luas masyarakat sempat coba ditangani pemerintah. Kita masih ingat, segera setelah berkuasa, Habibie mendesak ABRI untuk menangani kasus penculikan aktifis. Dari situ lalu digelar Pengadilan Militer untuk mengadili 11 anggota Tim Mawar Kopassus pelaku penculikan, serta dibentuk Dewan Kehormatan Perwira (DKP) yang akhirnya memberhentikan Prabowo Subianto dari dinas aktif dan memberhentikan Muchdi PR dari Danjen Kopassus (Wiranto; 2003). Baik Pengadilan Militer maupun Dewan Kehormatan Perwira (DKP) tidak mau menyebut nasib dan keberadaan mereka yang sampai saat ini masih hilang, kecuali 9 orang yang sudah dibebaskan. Prabowo menyebutkan adanya pihak lain yang lebih tinggi yang melakukan penculikan.

Selain itu, masa pemerintahan Habibie juga diwarnai dengan pembentukan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) untuk kasus kerusuhan Mei 1998. Dengan segala konflik kepentingan yang ada, TGPF berhasil mengeluarkan rekomendasi agar pemerintah menindaklanjuti secara hukum hasil dari TGPF tersebut. Perjuangan korban dan keluarga korban peristiwa Mei 1998 yang tak pernah henti baru disambut oleh Komnas HAM pada tahun 2003 dengan membentuk KPP HAM Kasus Mei 1998. Sebagaimana kasus Trisakti, Semanggi I dan II yang akhirnya kandas karena beda tafsir UU No 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM antara Komnas HAM, Kejaksaan Agung dan DPR, Kasus Mei 1998 juga mengalami nasib yang sama.

Pencapaian paling maju dari usaha pencarian keadilan dan pengungkapan kebenaran atas terjadinya tindak pelanggaran berat HAM ada pada kasus Pelanggaran Berat HAM di Timor Timur paska jejak pendapat 1999 dan kasus Tanjung Priok 1984. Pada kedua kasus tersebut, Komnas HAM telah membentuk KPP HAM dan Pengadilan HAM Ad Hoc telah digelar. Walaupun Pengadilan HAM telah menemukan adanya pelanggaran berat HAM di Timor Timur, namun para penanggung jawab, termasuk Jenderal (Purn) Wiranto yang waktu itu adalah Panglima ABRI masih menikmati kekebalan hukum (impunity). Ia bahkan kini melaju menjadi calon kuat Presiden RI. Sedangkan Pengadilan HAM Ad Hoc kasus Tanjung Priok yang merupakan Pengadilan HAM kedua setelah kasus Timor Timur tidak mencantumkan penanggung jawab struktural seperti Jenderal (Purn) Benny Murdani dan Jenderal (Purn) Try Sutrisno sebagai terdakwa. Namun demikian, dua minggu lalu Hakim Pengadilan HAM telah memvonis 10 tahun penjara untuk Mayjen Butar Butar, Mantan Dandim Jakarta Utara pada saat kejadian.

Pemerintah sipil paska Suharto, hanya mampu memberikan keadilan simbolis, dalam bentuk pengadilan-pengadilan militer dan pengadilan umum yang tidak fair dan tidak impartial bagi masyarakat dan korban. Keadilan substantif sebagaimana diharapkan masyarakat korban, yang dalam konteks pelanggaran HAM berupa pengungkapan kebenaran dan pemulihan (reparation) yang terdiri atas rehabilitasi, restitusi dan kompensasi, masih sebatas harapan dan cita-cita. Hal ini terjadi karena selama ini otoritas pemerintahan sipil terlalu banyak memberikan ruang dan otoritas kepada mereka yang terlibat dalam tindak pelanggaran berat HAM masa lalu, yang nota bene adalah militer dan elemen Orde Baru. Mereka yang diuntungkan oleh kebijakan otoritas pemerintah sipil inilah yang terus berusaha menghalangi usaha-usaha pencarian keadilan (obstructing justice) yang terus menerus diperjuangkan oleh oleh masyarakat korban.

Kesalahan dan kelemahan otoritas pemerintahan sipil yang diwakili oleh Megawati dengan memberikan ruang dan fasilitas kepada kelompok status quo ini kemudian berbuah pada mantapnya konsolidasi mereka, yang ditunjukkan dengan menangnya Golkar dalam pemilu legislatif 5 April 2004 dan meluncurnya calon presiden dari unsur militer Wiranto dan Susilo bambang Yudhoyono.

Lalu bagaimana prospek penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu?
Perkembangan terakhir memberikan indikasi-indikasi bahwa mereka yang selama ini melakukan obstruction of justice sangat potensial menjadi penentu hitam putihnya negara-bangsa. Dengan titik acuan gerakan reformasi tahun 1998, kita melihat arus telah mulai berbalik. Pondasi reformasi yang sedikit demi sedikit disusun untuk dijadikan dasar kehidupan berbangsa dan bernegara yang demokratis dan berkeadilan, yang ditandai dengan ditariknya militer dalam kehidupan politik pada awal-awal masa reformasi, kini kembali dibongkar.

Yang lebih ironis, bukan militer sendiri yang kini tengah membongkar pondasi reformasi tersebut, tetapi mereka yang dulu ikut berkoar-koar meneriakkan reformasi atau mati. Dalam kondisi yang demikian, prospek penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu telah meredup, bersama dengan arus yang mulai berbalik.

No comments: