Friday, July 27, 2007

Indonesia segera Ratifikasi ICC

Indonesia dan Gelombang Keadilan GlobalMugiyanto[1]

"In the prospect of an international criminal court lies the promise of universal justice. That is the simple and soaring hope of this vision. We are close to its realization"
-- Kofi Annan, Sekjen PBB


Tanggal 17 Juli adalah Hari Keadilan Internasional Sedunia (World Day for International Justice). Tahun ini adalah peringatan tahun ke-9, karena Hari Keadilan Internasional Sedunia adalah peringatan disepakatinya sebuah Statuta untuk Mahkamah Pidana Internasional (Statute for an International Criminal Court). Statuta ini sering disebut Statuta Roma, karena disepakati di Kota Roma, Italia dalam sebuah Konferensi Diplomatik Internasional. Ada 160 negara menghadiri dan menyetujui Statuta Roma ini, dan Indonesia adalah salah satunya.

Sebagaimana dikatakan oleh Kofi Annan, Sekjen PBB waktu itu, pada ICC terletak harapan adanya keadilan internasional. Harapan itu telah dirumuskan dalam Satuta Roma tersebut yang memang dibuat sebagai mekanisme pertanggungjawaban pidana internasional atas tindakan yang dianggap paling serius bagi umat manusia yaitu genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang dan kejahatan agresi (masih dirumuskan). Keberadaan ICC diharapkan menjadi lonceng peringatan dan pemberi efek jera bagi orang-orang seperti Hitler di Jerman dan Pinochet di Chile.

Indonesia segera meratifikasi ICC
Sebagai bagian dari negara yang hadir dalam Konferensi Diplomatik di Roma dan ikut menyetujui Statuta Roma, Indonesia juga nampak turut dalam arus keadilan global tersebut. Tidak bisa dipungkiri, UU No 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM banyak mengambil pasal-pasal dalam Statuta Roma. Bahkan ada yang mengatakan UU No 26 tahun 2000 adalah “ratifikasi setengah hati” atas Statuta Roma. Dan karena “ratifikasi setengah hati”, maka UU No 26 tahun 2000 itu banyak memiliki kelemahan, sehingga kasus-kasus besar yang ditangani dengan mekanisme Pengadilan HAM seperti kasus Timor Timur paska jajak pendapat 1999 dan Tanjung Priok 1984. Kedua pengadilan atas kasus tersebut berakhir pada pembebasan pelaku dan bukan penghukuman. Kelemahan-kelemahan pada UU Pengadilan HAM ternyata memberikan banyak sekali peluang bagi berkembangbiaknya impunitas.

Harapan baru kini muncul, karena sesuai dengan Rencana Aksi Nasional Hak-Hak Asasi Manusia (Ranham) 2003 – 2008 yang dibuat pemerintah, disebutkan Indonesia akan meratifikasi Mahkamah Pidana Internasional pada tahun 2008. Berbagai langkah telah dilakukan oleh pemerintah dan DPR untuk proses ratifikasi. Namun karena prosesnya yang terlampau lambat, tetap ada kekhawatiran proses ratifikasi ini akan mulur dan melewati target waktu yang dicanangkan (Kompas 7 Juli 2007). Untuk memastikan Indonesia meratifikasi dan menjadi negara pihak (State Party) atas ICC pada tahun 2008, DPR harus kerja keras dan menggandeng semua pihak, baik itu pemerintah (Depkumham) maupun organisasi-organisasi non pemerintah terkait.

Sasaran kampanye mendorong ratifikasi ICC, seperti yang dilakukan oleh Koalisi Internasional untuk Mahkamah Pidana Internasional (CICC), kini dipusatkan di Asia. Hal ini karena masih minimnya keterwakilan wilayah Asia pada badan ICC. Sebagaimana diketahui, sampai hari ini, 105 negara sudah meratifikasi ICC. Namun hanya 6 diantaranya berasal dari kawasan Asia, dimana salah satunya adalah Timor Leste. Namun pada saat ini beberapa negara seperti Laos, Nepal, Indonesia, Vietnam dan Cina sedang melakukan langkah-langkah persiapan ratifikasi. Bila terjadi, hal ini akan menjadikan Asia sebagai bagian dari barisan negara-negara yang sedang menuju pada ratifikasi universal ICC.

Ratifikasi ICC dan penegakan HAM di Indonesia
Mahkamah Internasional memang tidak dibuat untuk mengadili kasus-kasus dalam jurisdiksinya yang terjadi sebelum tahun 2002, atau sebelum sebuah negara meratifikasinya, sebagaimana prinsip tidak berlaku surut (non retroaktif) dalam hukum HAM internasional. Statuta Roma tentang Mahkamah Pidana Internasional memang ditujukan untuk mencegak kejahatan di masa mendatang. Namun tetap saja, dalam konteks penegakan HAM di Indonesia, ratifikasi ICC akan memiliki manfaat yang luar biasa besar.

Pertama, ratifikasi akan menjadi cambuk bagi pemerintah SBY untuk meralisasikan komitmen dan ucapannya dalam penegakan HAM dan keadilan. Ratifikasi oleh Indonesia akan dijadikan ukuran masyarakat atas keseriusan pemerintah saat ini yang cenderung hanya merealisasikan keadilan formal, dalam tataran tulisan dan ucapan.

Kedua, ratifikasi atas ICC akan berdampak pada penguatan dan perbaikan mekanisme pengadilan hak asasi manusia yang saat ini ditengarai sedang kolaps. Ratifikasi ICC akan menjadikan dasar yang kuat bagi perlunya melakukan amandemen mendasar atas peraturan perundangan tentang hak asasi manusia, terutama UU No 26 tahun 200 tentang Pengadilan HAM yang selama ini tidak efektif dan tidak memenuhi standar fair trial internasional. Ratifikasi atas Statuta Roma yang dibarengi dengan perbaikan atas perundangan mengenai HAM dan Pengadilan HAM akan bisa memberi salah satu terobosan atas kebuntuan penanganan kasus-kasus pelanggaran berat HAM.

Sebagaimana terlihat dalam implementasi UU No 26 tahun 2000 melalui proses Pengadilan HAM Tanjung Priok, Timor Timur dan Abepura serta proses penyelidikan dan penyidikan dugaan pelanggaran berat HAM lainnya (kasus Mei 98, Trisakti - Semanggi I dan II, Penghilangan Paksa dll), UU No 26 tahun 2000 terlihat mandul dan kelemahannya sering dimanfaatkan oleh para pelaku pelanggaran HAM. Hal ini terjadi terutama karena UU No 26 tahun 2000 tidak mengadopsi KUHP (rules of procedures) dan unsur-unsur pidana (elemets of crimes) ICC yang ada pada Statuta Roma.

Ketiga, ratifikasi ICC oleh Indonesia pada saat ini akan menjadikan Indonesia memiliki akses untuk berpartisipasi dalam berbagai proses dan operasional ICC yang berkedudukan di Den Hague ini semisal dalam pencalonan hakim, penuntut, Victim Trust Fund, dan badan-badan ICC yang lain. Ratifikasi ICC oleh Indonesia juga menjadikan Indonesia sebagai negara pihak untuk aktif dalam pertemuan Dewan Negara Pihak (Assembly of States Parties – ASP). Sebagai negara pihak, Indonesia juga bisa berperan sangat aktif dalam Review Conference yang diadakan pada tahun 2008 atau 2009. Sebagai peserta dalam Review Conference, Indonesia bisa memberikan berpartisipasi secara maksimal dalam memberikan masukan tentang perubahan-perubahan mendasar yang mungkin dilakukan terhadap ICC.

Dari itu semua, percepatan ratifikasi ICC oleh Indonesia akan menjadikan Indonesia bisa berdiri sama tinggi dengan negara-negara lain dalam komitmen yang sama dalam mewujudkan keadilan global.

[1] Penulis adalah Ketua IKOHI dan Asian Federation against Involuntary Disappearances (AFAD)

No comments: