Tuesday, July 12, 2011

Mengungkap Kasus Penculikan di Perspektif Baru Wimar Witoelar 2008


Mengungkap Kasus Penculikan
Edisi 627 | 24 Mar 2008 |

Tamu Perspektif Baru kali ini adalah Mugianto. Siapa Mugianto? Yang jelas dia bukan temannya Suharto, tapi dia adalah orang yang pernah diculik dan hilang pada zaman pemerintahan Suharto. Dia kini Ketua Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI), dan juga Ketua Asian Federation Against Involuntary Disappearances (AFAD)

Mugianto mengatakan pintu keadilan dalam arti penghukuman terhadap mereka yang bertanggung jawab terhadap kasus penghilangan paksa dan penculikan orang tidak tertutup sama sekali walaupun Suharto sudah meninggal. Itu masih bisa berjalan walaupun kalau kita berbicara masalah kebenaran mungkin ada beberapa yang kontroversial, tidak terbuka sepenuhnya karena memang Suharto sudah tidak ada. Namun keadilan dan kebenaran masih bisa diungkap.

Menurut Mugianto, itu semua tergantung pada eksekutif. Kasus penculikan dirinya dan 24 kasus lainnya yang ditangani Komisi Nasional (Komnas) Hak Asasi Manusia (HAM) sekarang sudah ada di Jaksa Agung untuk disidik dan dituntut melalui pengadilan HAM, tetapi mentok di sana. Jadi hanya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang bisa melakukan terobosan.

Berikut wawancara Wimar Witoelar dengan Mugianto.

Selama perawatan sampai meninggalnya, negara dan pemerintahan menghormati Suharto sebagai mantan presiden yang 32 tahun memerintah. Menurut saya, reaksinya aneh karena pada masa pemerintahannya dia banyak dipuja, pada masa akhir pemerintahannya dia banyak dicela sampai akhirnya terpaksa turun. Kemudian dikejar-kejar ke pengadilan tapi tidak berhasil. Tapi pada waktu dia meninggal, respon masyarakat positif. Bagaimana tanggapan Mugianto mengenai pemujaan terhadap Suharto?

Saya pikir mungkin dapat diperdebatkan juga untuk mengatakan respons masyarakat positif. Masyarakat memang menghormati Pak Harto ketika dia meninggal. Tapi yang memberikan respon yang sangat positif adalah Pemerintah, dalam hal ini adalah pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan orang-orang yang masih berada di kekuasaan yang notabene pendukung Suharto. Saya pikir mereka yang positif memberikan penghargaan atas meninggalnya Suharto.

Apakah termasuk juga Presiden Yudhoyono?


Termasuk Yudhoyono. Menurut saya, yang kita saksikan kemarin berlebihan. Memberikan penghormatan bendera setengah tiang selama seminggu, pemakaman yang begitu besar. Boleh saja Suharto dihargai, tetapi yang sama sekali tidak disampaikan oleh pemerintahan Yudhoyono tempo hari adalah pemerintah sepertinya sama sekali tidak melihat bahwa Suharto pada masa lalu melakukan berbagai macam penyalahgunaan kekuasaan secara masif, dan itu berdampak pada masa kini. Bahkan Presiden Yudhoyono juga mewarisi kehancuran sebagai akibat apa yang dilakukan oleh Suharto pada masa lalu.

Saya mendengar komentar bagus dari orang bahwa kalau pemerintah meminta mengibarkan bendera setengah tiang untuk Pak Harto, seharusnya pemerintah juga meminta pengibaran bendera setengah tiang selama sebulan untuk korban penculikan. Nah Anda sebagai korban penculikan dan kita agak susah bertemu dengan korban penculikan, bagaimana sebenarnya pengalaman Anda?

Waktu itu saya adalah aktivis. Pada tahun 1998 Saya masih mahasiswa di Yogya. Pada tahun 1995 - 1997 saya terlibat dalam gerakan mahasiswa yang mengidentikkan bahwa masalah ketidakadilan, ketidakadaan demokratisasi bersumber pada kebijakan Orde Baru Suharto. Kami mengidentifikasi masalah fundamental di Indonesia saat itu adalah adanya dwi fungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), dan lima undang-undang politik yang sangat represif yang tidak memungkinkan adanya sistem multi partai di Indonesia. Kami melihat itu sebagai tulang punggung Orde Baru, dan untuk mengubah Indonesia pada sistem yang lebih demokratis kami memperjuangkan itu dicabut. Sebagai akibat dari yang telah saya dan kawan-kawan lakukan pada waktu itu, saya diculik oleh sekelompok orang pada 13 Maret 1998.

Bagaimana Anda diculik?

Saya diculik ketika baru masuk rumah kontrakan saya di Klender, Jakarta Timur pukul delapan malam. Begitu saya masuk tiba-tiba ruangan sudah kosong, padahal setengah jam sebelum itu saya telpon ke rumah, ada dua teman saya Nezar Patria dan Aan Rusdianto. Saya mengatakan kepada mereka supaya menunggu di rumah karena saya mau pulang. Ketika saya masuk sudah tidak ada orang. Beberapa menit pertama saya tidak curiga apa-apa tapi sekitar lima menit kemudian saya pikir ada yang tidak beres. Begitu melihat ke luar lewat jendela, saya melihat rumah sudah dikepung oleh orang-orang yang berbadan kekar.

Apakah tetangga-tetangga Anda tidak ada?

Tetangga-tetangga tidak ada, dan saya membaca mereka sudah dikondisikan oleh orang-orang yang bermaksud menculik saya. Ketika saya masuk rumah, ada tiga orang ibu yang melihat saya tetapi tidak mengucapkan sepatah katapun. Saya sudah merasa ada yang tidak beres. Saya melihat lewat jendela-jendela, saya sudah dikepung. Saya sadar betul karena pada masa-masa itu sejak 1996 bisa dikatakan saya berada dalam pelarian karena pada 27 Juli 1996 organisasi saya Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID) dianggap sebagai salah satu organisasi yang bertanggung jawab terhadap kerusuhan waktu itu dan pimpinannya diburu. Saat itu 13 Maret 1998 pukul tujuh malam saya merasa akan berakhir di sini. Hidup saya mungkin berakhir di sini.

Jadi sangat traumatis. Apakah teman-teman Anda sebelumnya ada yang diculik dan kehilangan nyawa?

Waktu itu belum. Yang terjadi adalah aktivis-aktivis sudah diculik seperti Pius Lustrilanang, Desmon, Haryanto Taslam pada Januari 1998. Sehari sebelumnya pada 12 Maret teman-teman sudah diculik seperti Faisol Reza, dan lain-lainnya. Pada 13 Maret saya yang ditangkap. Saya merasa aktivitas bahkan hidup saya akan berakhir di sini. Kalau ditangkap polisi saya masih bisa memperkirakan saya ditahan, diadili.

Apakah mereka itu ada identitas atau suratnya?

Tidak. Saat itu saya juga dalam keadaan panik dan begitu powerless. Pintu digedor dari luar dan saya tidak bisa lari karena berada di lantai dua.

Mengapa Anda tidak pernah mempersiapkan sebelumnya seperti di film ada tempat pelarian?

Saya belum memikirkan itu karena tinggal di situ baru satu minggu. Menurut hitungan matematis, satu minggu masih aman walaupun negara sangat represif saat itu. Kemudian masuk sekitar sepuluh orang, dua orang memakai pakaian tentara yang lainnya berpakaian sipil. Seorang bapak-bapak memakai kopiah dan menggandeng saya, "Bapak tenang saja ikuti bapak-bapak ini dan bapak akan selamat". Tidak lama kemudian mereka mengacak-ngacak tempat saya, mencari buku-buku, dan sebagainya yang tidak ada karena memang kami baru saja pindah. Kemudian saya digandeng turun dari lantai dua. Saat itu kira-kira pukul delapan malam

Apakah tetangga-tetangga ada yang melihat?

Ada beberapa orang, namun saya tidak bisa mengidentifikasi apakah mereka itu tetangga saya atau pelaku penculikan. Saya juga tidak fokus karena membayangkan saya akan dipenjara atau akan mati.

Apakah Anda takut?

Ya, saya takut.

Sebagai seorang aktivis, bukankah Anda sudah siap menghadapi kejadian seperti itu sehingga tenang saja?

Yang saya bayangkan adalah Orde Baru sangat represif, jika saya berdemo akan ditangkap oleh kepolisian dengan tuduhan subversi.

Ini terjadi Maret 1998 dimana sudah mulai terjadi demonstrasi mahasiswa tetapi belum terjadi kerusuhan Mei. Bukankah keadaan Pak Harto sudah mulai goyah karena krisis ekonomi?

Ya, krisis ekonomi mulai terjadi pertengahan 1997. Jadi sampai Mei 1998 ketidakstabilan sudah sangat klimaks. Demontrasi dimana-mana, tidak hanya kami dari mahasiswa, pendukung Megawati, tapi orang-orang di pinggir jalan semua menjerit karena harga naik dan rupiah hancur.

Kita kembali ke penculikan.

Saya dimasukkan dalam mobil semacam kijang dan dibawa ke suatu tempat kemudian berhenti di suatu tempat, ternyata itu Komando Rayon Militer (Koramil) Duren Sawit Jakarta Timur. Di situ, ada hal yang aneh. Ketika saya sedang diinterogasi oleh dua orang tentara, ada satu orang yang datang. Saya mengira dia adalah korban salah tangkap. Orang-orang yang menangkap saya menyangka dia teman saya, pada awalnya saya mengira begitu. Saya dan dia memang dibawa sebagai paket hasil tangkapan. Padahal saya tidak kenal dan dia mengaku bernama Jaka. Dia protes pada dua tentara di depan, "Saya harus dilepaskan kalau tidak saya akan menghubungi saudara saya yang pimpinan ABRI". Kemudian dia ditendang kakinya. Dari Koramil Duren Sawit, saya dan si Jaka dibawa dengan pick up polisi militer dan berhenti di suatu tempat yaitu Komando Distrik Militer (Kodim) Jakarta Timur.

Kodim lebih tinggi dari Koramil. Jadi orang-orang itu tidak memakai identitas akan tetapi mereka membawa Anda ke kantor tentara.

Ya betul. Mobil berhenti di sebuah gedung yang menurut mereka yang membawa kami adalah Kodim Jakarta Timur. Kemudian ada dua orang yang berteriak, "Turunkan mereka" sampai empat kali. Baru kami diturunkan. Kemudian kami dituntun ke dalam. Saya menunggu dua menit kemudian saya diminta keluar lagi. Saya digandeng Jaka, "Mugi kamu selamat, kita pulang ke rumah". Kemudian Jaka mengajak saya naik mobil sedan di depan dua pria tadi. Tapi kemudian saya dikeluarkan lagi, "Mugi kamu naik mobil yang lain".

Apakah kira-kira itu koneksinya Jaka?

Ya, kira-kira koneksinya dia. Kemudian saya dipindahkan ke kendaraan semacam kijang yang agak jauh. Di mobil kijang itulah saya tidak tahu Jaka ada dimana mungkin nyangkut di situ. Saya sendiri di tutup mata dan baju saya dibuka. Di dalam mobil itu ada sekitar enam – tujuh orang. Kemudian saya dibawa ke tempat lain dan satu jam kemudian kami berhenti.

Apakah Anda tidur atau tidak sadar?

Tidak, saya sadar. Kemudian mereka berteriak, "Kamu Mugianto kan?" Saya jawab iya. "Kami tidak pernah salah menangkap orang," kata mereka. Lalu mata saya ditutup, kemudian saya diancam, "Kamu harus ikut kami". Kemudian ada sesuatu yang dingin menempel di kepala saya kira-kira pistol. Mereka sempat berdebat rute perjalanan dan satu jam kemudian kendaraan berhenti. Baru tiga langkah turun dari kendaraan saya merasa sangat dingin. Saya mendengar seperti air gemericik mengalir, ada suara sirine, lalu ada suara seperti cambuk. Saya membayangkan saya dibawa ke sawah di pinggir sungai. Kemudian saya disuruh buka celana sehingga hanya menggunakan celana dalam. Tutup mata saya diganti. Kemudian saya ditanya, "Kamu tinggal dengan siapa?’ Saya jawab sendirian. Tidak senang dengan jawaban yang diberikan saya pun dihajar. Saya jatuh dan kemudian dibangunkan dan diinterogasi lagi. Setiap dia tidak suka dengan jawaban saya, saya dihajar. Kemudian saya ditidurkan hanya dengan memakai celana dalam dan mata tertutup. Saya ditidurkan dengan tangan dan kaki saya diikat. Di situ saya baru sadar ternyata suara yang seperti cambuk itu adalah alat setrum. Kemudian ada suara sirine meraung-raung, jadi itu adalah tempat penyekapan. Mereka berhenti menginterogasi dan menyiksa saya dengan setrum itu. Ada orang lain di dekat saya kira-kira tiga meter dari saya, orang itu disiksa menjerit-jerit.

Berapa lama kondisi ini berlangsung?

Ini berlangsung selama dua hari dua malam. Selain interogasi ada juga ‘diskusi-diskusi’ yang menurut saya penting. Kalau salah akan ditabok dan disetrum. Misalnya, mengapa kalian mendukung referendum di Timor Timur? Mengapa mendukung demokratisasi di Aceh? Kalian seharusnya menghentikan demonstrasi-demonstrasi buruh. Mengapa kalian ingin menumbangkan Suharto? Berapa kali menghadiri pertemuan dengan Amien Rais, Megawati?

Kalau dari perspektif saya, sebenarnya dalam waktu sepuluh tahun setelah itu kita banyak kemajuan karena hal-hal yang dicela saat itu sekarang boleh saja. Mungkin itu karena Suhartonya jatuh. Tapi, dari mana Anda mengetahui kalau itu orang-orang Suharto?

Dua hari dari situ kami diserahkan ke Polda Metro Jaya kemudia saya ditahan selama tiga bulan, Maret – Juni. Pada 6 Juni saya dibebaskan yaitu pada masa Habibie berkuasa. Saat itu Habibie mencabut undang-undang (UU) subversi. Saat itu saya terkena UU anti subversi, dan sebenarnya saya bukan dibebaskan, tetapi status hanya berubah menjadi penangguhan penahanan.

Apakah itu berlangsung sampai sekarang?

Ya, sampai sekarang status saya penangguhan penahanan.

Gawat. Apakah Anda bisa ditahan kembali?

Bisa.

Jadi berakhirnya tidak jelas dan awalnya tidak jelas juga. Anda saat itu mahasiswa dan itu terjadi sepuluh tahun lalu. Apakah selama sepuluh tahun itu Anda fokus mencari keadilan terhadap penekanan Suharto?

Sebagai orang yang selamat (survivor), saya bergabung dengan teman-teman yang mengadvokasi saya diantaranya Kontras. Kemudian saya berinteraksi dengan teman-teman survivor lainnya dan dengan orang tua yang anak-anaknya hilang. Sampai saat ini tercatat 13 orang yang belum diketahui keberadaannya.

Dari pengalaman itu hidup Anda dipenuhi dengan obsesi mencari keadilan. Sehubungan dengan Suharto yang sudah tidak ada, bagaimana jalan ke depan kita, apakah lebih dekat atau lebih jauh dengan keadilan?

Saya pikir lebih dekat pada keadilan walaupun itu tidak mudah. Jadi ini semua tergantung pada eksekutif. Itu karena kasus terhadap penculikan saya dan 24 kasus lainnya yang sedang ditangani pemerintah dalam hal ini Komisi Nasional (Komnas) Hak Asasi Manusia (HAM). Sekarang sudah ada di Jaksa Agung untuk disidik dan dituntut melalui pengadilan HAM, tetapi mentok di sana. Jadi hanya Presiden SBY yang bisa melakukan terobosan.

Ini penting, jadi kita bisa melihat bahwa kasus ini belum mati bahkan berkesempatan untuk hidup lagi karena sudah di tangan presiden dan keadilan terhadap penekanan Suharto masih bisa diperjuangkan.

Ya, dan saya pikir Suharto memang orang yang paling bertanggung jawab dan masih banyak lagi karena dia bukan satu-satunya yang bertanggung jawab. Masih banyak para jenderal dan pihak-pihak yang harus dimintai pertanggungjawaban karena keterlibatannya terhadap berbagai pelanggaran HAM. Jadi sebenarnya pintu keadilan dalam arti penghukuman terhadap mereka yang bertanggung jawab tidak tertutup sama sekali walaupun Suharto sudah meninggal. Masih bisa berjalan walaupun kalau kita berbicara masalah kebenaran mungkin ada beberapa yang kontroversial, tidak terbuka sepenuhnya karena memang Suharto sudah tidak ada. Namun keadilan dan kebenaran masih bisa diungkap. Saya menekankan pentingnya kebenaran terutama terhadap penghilangan paksa dan penculikan orang. Ini sangat penting karena kebenaranlah yang bisa memberikan kelegaan dan keadilan terutama kepada keluarga yang ditinggalkan. Seperti kita ketahui masih ada 13 orang yang hilang, salah satunya adalah Widji Tukul, dia adalah seorang seniman dari kampung Kalangan Solo, Jawa Tengah yang sampai sekarang masih hilang. Hilangnya Widji Tukul memberikan ketidakpastian terhadap Mbak Sipon, istrinya.

Sumber: http://www.perspektifbaru.com/wawancara/627/

1 comment:

Anonymous said...

wow pengalaman yang luarbiasa pak.